Pandemi dan Wacana Ekonomi Sirkular untuk Mengurangi Sampah 30% pada 2025
Source: Mongabay Date: 15 January 2021
- Wacana pengurangan sampah plastik 30% pada 2025 mendapat tantangan dengan meningkatnya volume plastik saat pandemi COVID-19.
- Sejumlah penelitian menyebut meningkatnya volume belanja online dan antar makanan jadi salah satu penyebab.
- Penyebab lain adalah sampah infeksius dari alat pelindung diri seperti masker yang juga berisiko bagi sistem ekonomi sirkular, seperti pengangkut dan pemilah sampah.
- Sampah dan limbah medis yang tak terkelola jadi wabah baru karena menambah beban lingkungan.
Kemasan sekali pakai jadi wabah baru selain sampah medis dampak pandemi COVID-19. Sejumlah riset menunjukkan lonjakan sampah plastik dan juga sampah infeksius yang berbahaya bagi pengangkut sampah.
Perhatian dan perlindungan pengangkut dan pemilah sampah ini disampaikan Elina Ciptadi, salah satu inisiator KawalCovid dalam diskusi daring bertema Pandemi dan Ekonomi Sirkular pada Senin (11/01/2021) oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Peningkatan risiko karena sampah medis ini beralasan. Hasil penelitian LIPI pada 31 Desember 2020 tentang peningkatan sampah medis di muara sungai menuju Teluk Jakarta menunjukkan kini sampah masker dan alat pelindung diri (APD) jadi bagian dari sampah plastik yang mencemari lingkungan. Akibat penggunaan suplai sekali pakai dan sampah tak disortir, meningkatkan risiko penyakit bagi pemulung.
Merujuk studi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 2018 tentang dampak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap penggunaan layanan kesehatan kelompok ekonomi lemah dinilai jarang memperhatikan ke fasilitas kesehatan. “Jika terpapar COVID, ada risiko tidak dites, positif tak diisolasi. Penularan makin mudah di kompleks penduduk padat,” sebutnya.
Padahal ada pedoman penanganan limbah medis akibat pandemi sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No.HK01.07/Menkes/537/2020. Penanganan di rumah juga penting untuk perlindungan pengelola sampah. Caranya, sebut Elina, pisahkan dan tandai sampah medis seperti masker, sarung tangan, boot, dan lainnya. Disinfeksi sampah daur ulang dengan air panas. Tambah bak sampah di area pemukiman untuk pedagang keliling, petugas sampah, dan lainnya. Pengangkut menurutnya harus dilengkapi sarana pelindung oleh perusahaannya. Misal harus menggunakan alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, atau tongkat pencapit.
“Jangan pakai masker sekali pakai. Kita cukup pakai masker kain tiga lapis,” ajaknya.
Seorang aktivis OceansAsia memperlihatkan limbah masker medis di pesisir Hongkong. (Foto oleh Naomi Brannan / Facebook Oceans Asia)
Sampah Infeksius
Jika saat pandemi, warga lebih banyak tinggal di rumah saat pandemi, belanja online atau pesan antar tak bisa dihindari. Lalu kebijakan pengurangan dari sumber bagaimana?
Inilah yang yang kini diwacanakan pemerintah, ekonomi sirkular. Ujang Solihin Sidik Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan pandemi momentum akselerasi perwujudan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Penanganan sampah dan limbah medis menurutnya berbeda, demikian juga regulasinya. Sampah alat pelindung diri masuk sampah biasa dan limbah medis. Limbah medis menurutnya tak bisa masuk ke ekonomi sirkular. Hanya sampah rumah tangga biasa, kategori non infeksius terutama plastik.
“Jika infeksius, konteksnya pemusnahan. Tapi ada yang bisa didaur ulang seperti botol cairan infus dengan penanganan khusus,” sebutnya.
Ia menunjukkan penanganan sampah di Indonesia seperti ilustrasi seseorang berusaha mengurangi luberan air di bak mandi dengan sendok. Tak ada upaya menutup aliran air dari keran. Volume sampah terus bertambah karena jumlah penduduk dan laju ekonomi. Tapi penanganan sampah oleh pemerintah kabupaten dan kota terbatas. Tak bisa dibendung.
Ada dua komponen penting yakni pengurangan dan penanganan sampah. Namun pengurangan tidak jadi perhatian. “Sekarang, menunggu penambahan sampah terus,” keluhnya.
Ilustrasi sampah medis. (Foto oleh georgeherald.com)
Tantangannya, mengutip Indeks Ketidakpeduliaan Lingkungan Hidup BPS 2018, sebanyak 72% warga disebut tidak peduli sampah. “Bagaimana bisa memilah, buang sampah di tempatnya saja tidak mau,” ia heran.
Selama pandemi ada kenaikan timbulan sampah plastik tapi di rumah tangga bukan pusat bisnis. Dari riset LIPI, jumlah sampah ke Teluk Jakarta menurun secara volume berat tapi sebelumnya tak ada limbah medis. APD berbahan plastik yang ditemukan sebanyak 16% seperti masker hingga hazmat plastik. Belanja online disebut paling berpengaruh dengan timbulan sampah plastik yang meningkat 30-50%.
Ujang mengutip data lain di beberapa kota. Peningkatan sampah plastik di Kota Surabaya sekitar 23% pada 2020 di Kecamatan Rungkut. Sedangkan TPA Benowo dari 12 jadi 22% sampah plastik.
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI 2020 yang meneliti dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work From Home (WFH) selama April-Mei 2020 juga menyebut belanja online paket meningkat 62% dan layanan antar makanan 47%. Masalahnya 96% kemasan plastik dan lapisannya cukup banyak.
Prinsip dasar pengelolaan sampah 3R seperti piramida terbalik dimulai dari prinsip mengurangi timbulan sejak sumber di hierarki tertinggi, paling ramah lingkungan. Dengan cara pemanfaatan kembali sampah, pendauran ulang, pembangkitan energi, dan lainnya. Sementara hierarki terendah adalah pemrosesan akhir, penanganan residunya di TPA.
Indeks Ketidakpeduliaan Lingkungan Hidup dari BPS 2018 (Sumber : KLHK)
Ekonomi Sirkular
Jakarta disebut sudah krisis sampah, TPA Bantar Gebang menerima 7500 ton/hari. Hanya memindahkan masalah, bukan solusi. Tahapan perubahan paradigma terus dibahas, dari end of pipe, 3R, sampai extended producer responsibility (EPR) dan circular economy (CE). “Kita meminta tanggung jawab produsen. Sekarang mereka tak melakukan apa, hanya jualan, tidak mikir sampahnya,” sebut Ujang.
Pengelolaan sampah, awalnya linier saja, konsumsi lalu jadi sampah. Kini diharapkan sirkular. Misalnya redesain kemasan jadi bisa digunakan atau didaur ulang kembali.
Sampah kini jadi beban pencemar, tak ada pengurangan sampah di sumber. Target dan indikator Peraturan Presiden (Perpres) No.97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah (Jakstranas) menyebutkan pengurangan sampah 30% pada 2025, sisanya 70% bisa ditangani. “Sangat ambisius, karena sudah sangat mendesak,” lanjutnya.
Pengurangan diakui tak pernah disentuh, hanya ditangani. Ini yang akan diubah. Strateginya, pembatasan plastik sekali pakai (PSP), cukai, perilaku zero waste, less waste event, eco office, dan kewajiban produsen yang berbasis lingkungan.
Wacana ini makin urgent karena lebih dari 60% TPA disebut masih open dumping, sampah hanya ditimbun saja. Padahal harusnya sanitary landfill.
“Prinsip ekonomi sirkular, bukan daur ulang. Prinsip dasarnya pendekatan end of pipe diubah ke design of sustainibility,” imbuh Ujang. Misalnya kemasan mudah didaur ulang, guna ulang, dikembalikan, tahan lama, compatible satu pernagkat untuk semua, dan chargeable.
Ekonomi sirkular berlaku untuk organik dan anorganik. Bentuknya diagram kupu-kupu.
Warga membuang sampah di tepi sungai sodetan Bengawan Solo. Timbunan sampah di pantai dan kegiatan pembakaran sampah di tepi sungai tersebut memprihatinkan. (Foto oleh Falahi Mubarok / Mongabay Indonesia)
Permen LHK 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen masih didorong. Praktik yang mulai diujicoba, batasi kemasan sekali pakai. Perkuat penggunaan ulang (reuse), daur ulang, toko zero waste, waste to energy. Modular system, bisa dibongkar pasang. Tak hanya dipakai sekali. “Teh botol di botol kaca malah ada botol plastik,” herannya.
Sejauh ini, ada dua provinsi dan 39 kabupaten yang membuat regulasi larangan atau pembatasan sekali pakai terutama kantong belanja plastik. Namun fokusnya pertokoan modern belum ke pasar, dan unit usaha lainnya. Ia berharap skema bisnis the loop store, seperti reuse, refill, return on the home, refill, return on the go.
Kota yang menurutnya cukup berhasil melaksanakan regulasi adalah Banjarmasin, Balikpapan, dan Bogor. “Tak semua menghasilkan dampak positif, tapi jika Pemda konsisten dengan pengawasan dan pemantauan pasti jalan. Tapi kalau hanya (menerbitkan) regulasi (tanpa implementasi), pasti tak jalan,” sebutnya.
Untuk Provinsi Bali yang memiliki regulasi larangan plastik sekali pakai (PSP) pada 2019, Ujang menyebut secara umum bekerja karena dibatasi, kebijakan hanya di provinsi. “Tak semua kabupaten buat kebijakan yang sama. Masih ada gap,” lanjutnya.
Namun Mongabay Indonesia merangkum, volume sampah plastik masih tinggi karena aturan di atas kertas yang bagus tak konsisten diimplementasikan.
Sejumlah warga terlihat memulung di tempat pembuangan sampah (TPA) Kaliori, Banyumas, Jateng, yang kembali dibuka pada pekan lalu. (Foto oleh L Darmawan / Mongabay Indonesia)
Tanggung jawab Produsen
Terkait ekonomi sirkular, salah satu pihak yang harus ikut bertanggungjawab adalah produsen. Misalnya dengan upaya pengurangan kemasan sekali pakai. Ia berharap produsen menggunakan teknologi yang feasible agar jelas keberlanjutannya. Karena kemasan sachet dan plastik wadah camilan masih sulit diolah atau tak bernilai ekonomis.
Ia menyontohkan teknologi insinerator, jika di luar negeri bisa jalan, tapi teknologinya di Indonesia terbentur masalah pembiayaan, nonteknis.
Sampah bernilai jual dan pupuk kompos hasil pengolahan sampah adalah sumber penghasilan utama dari TPST 3R Mulyoagung Bersatu di Desa Mulyoagung, Malang, Jawa Timur.
Supadi, pengelolanya menyebut pihaknya belum fokus di isu pengurangan dari sumber yakni rumah tangga, tapi penanganan di TPST.
Dengan biaya angkut sampah Rp12-15 ribu/rumah dan melayani 13 ribu rumah, sampah bisa diangkut dengan armada sendiri. Di TPST, dipilah dan cara komposting masih tradisional tapi bisa mengurangi minimal 60-80% sampah ke TPA.
Sejauh ini, ditemukan ada 359 jenis produk dan 66 paket kelompok sampah untuk diadur ulang. Dikumpulkan sedikitnya 207 ton per bulan yang punya nilai jual. Misalnya lapak kaca beling ada 33 paket jenis sampahnya dengan harga satuan dan kiloan. Sedangkan lapak B3 dikumpulkan ada 16 jenis seperti lampu TL, aki, dan elektronik lain.
Hasil dari brand audit yang dilakukan aktivis lingkungan ini mendapatkan ada top tiga perusahaan yang menjadi penyumbang sampah plastik, yaitu Wings Group, Unilever dan Gamble Company. (Foto oleh Falahi Mubarok / Mongabay Indonesia)
Volume sampah yang masuk TPST 3R Desa Mulyoagung ini sekitar 250 meter kubik per hari, setelah dipilah, sebanyak 49% sampah anorganik bernilai ekonomis, 39% bahan kompos, dan sisanya 12% dibawa ke TPA dalam bentuk residu.
Pengelola bisa mengupah Rp1,7 juta-3 juta dengan jumlah pekerja 91 orang. Biaya operasional sekitar Rp240 juta/bulan. “Dikelola mandiri dengan hasil perputaran uang kompos dan sampah anorganik bernilai jual. Tak ada libur saat pandemi ini,” lanjutnya.
Ia mengaku pernah menawarkan sampah sachet ke produsennya tapi tak direspon. Hanya Tetrapak mau ganti Rp1000 per kilogram. Jumlah yang dikumpulkan minimal 1,5 ton per bulan.
Menurut Supadi, kunci keberhasilannya adalah kepentingan sosial, perencanaan, komitmen, administrasi, dan landasan hukum Peraturan Desa.
Source link: https://www.mongabay.co.id/2021/01/15/pandemi-dan-wacana-ekonomi-sirkular-untuk-mengurangi-sampah-30-pada-2025/